Sebelum memasuki abad renaissance, perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa sangat di batasi oleh agamawan gereja, pada masa itu intervensi gereja hampir menyentuh keseluruh aspek kehidupan masyarakat dan negara, faham gereja yang scholastik (semua untuk agama/akhirat)berdampak pada dekadensi ilmu pengetahuan Eropa yang luar biasa.
Lalu munculah gerakan renaissance yaitu kebangkitan peradaban modern Eropa yang di awali oleh para pemikir-pemikir Eropa yang mengalami kejenuhan berfikir sehingga mereka menghidupkan kembali ide-ide Yunani dan Romawi kuno atau pun mengadopsi ide-ide baru melalui seni dan budaya yang lambat laun menenggelamkan dominasi gereja dalam kehidupan sosial mereka.
Sejak renaissance inilah gagasan dunia menjadi mekanis matematis dengan ide dan rasio, seluruhnya tidak boleh dicampuri oleh dogma agama dan filsafat, hal demikian berdampak pada metode tatanan ilmu pengetahuan yang apabila hendak dikatakan ilmiah harus mengandaikan beberapa prinsip metodologi; Pertama,rasional dan empiris, artinya sebuah proposisi harus bisa dibuktikan secara empiris untuk kemudian dikatakan benar dan salah, Kedua, objektifitas, ini berarti seorang ilmuwan sangat tidak boleh dipengaruhi oleh faktor subjektifitas seperti, nilai, moral, etika, prasangka, asumsi, keyakinan dan kepercayaan, karena dunia pengamatan harus bersifat objektif. Ketiga, tidak bersifat unik (idiografis), teknologi yang ada pada saat ini merupakan hasil dari reaksi pada gejala yang terus menerus terulang kejadiannya sehingga dapat ditentukan, dikendalikan, atau dimanipulasi. sesuatu yang unik tidak memiliki konsistensi dalam menentukan validitas. (Zaprulkhan)
Uraian di atas memberikan gambaran pada zaman renaissance para ilmuwan Barat ketika itu meyakini Agamalah yang menjadi sebab penghambat majunya peradaban Eropa, ketika masyarakat Eropa selalu mempercayai apa yang dikatakan Gereja, ketika itu pula mereka akan senantiasa mengalami kemorosotan ilmu pengetahuan, ekonomi yang stagnan dan terus-menerus hidup dalam masa kegelapan (dark age).
Prinsip tatanan “keilmiahan” ilmu pengetahuan setelah munculnya gerakan renaissance banyak memiliki implikasi negatif tanpa menafikan sisi positif, bila konsep tersebut teraktualisasi dengan alam dunia Islam dalam bingkai Agama. Yang dimana dalam menentukan keilmiahan, Ulumuddin memiliki perspektif sendiri dan berbeda dengan apa yang dibawa oleh ilmuwan renaisance di Eropa. Di sisi lain konsep ilmu yang berasal dari Eropa tersebut sedang menjamur bak tanah gersang yang diguyur hujan, perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai unsur yang di hasilkannya pada zaman modern ini sangat dipengaruhi oleh gerakan renaissance sebagai awal mula kebangkitannya.
Seorang filsuf Muslim abad modern yaitu Prof. Syed M. Naqquib al-Attas pernah menghadiri Konferensi Internasional Pendidikan Islam Pertama yang ketika itu diadakan di Makkah pada tahun 1977, yang dimana beliau pulalah yang menjadi key note speaker pada acara konferensi tersebut, pada konferensi tersebut ada sebuah pertanyaan yang diajukan kepada para hadirin, yaitu “what is the central krisis of Muslim today? (masalah apa yang paling mendasar yang dihadapi umat Islam sekarang?” banyak cendikiawan/pemimpin muslim yang menghadiri konferensi ketika itu menjawab, krisis yang mendasar yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ekonomi, sebagian yang lain menjawab adalah masalah politik, tetapi tidak dengan jawaban yang diucapkan oleh Prof. M. Naquib al-Attas, menurut beliau masalah mendasar yang sedang dihadapi umat Islam saat ini adalah “problem of knowledge (yaitu masalah ilmu pengetahuan)”, karena berangkat dari ilmu yang salah itulah yang dipelajari umat Islam maka umat Islam salah dalam melihat dunia, akan salah dalam melihat dirinya, akan salah dalam melihat kehidupan, karena berangkat dari ilmu yang salah. (Adian Husaini)
Bila ditelisik lebih mendalam ada hubungan yang erat antara konsep ke ilmuwan yang lahir di Eropa berkat renaissance nya dengan jawaban seorang filsuf muslim Prof. Syed. M. Naquib al-Attas bahwa iImu pengetahuanlah yang menjadi masalah mendasar umat Islam saat ini. Walau awal mula kemunculannya gerakan renaissance merupakan bentuk protes terhadap Gereja namun bukan berarti umat Islam tidak terkena dampak sama sekali, yang pada kenyataannya Eropalah yang saat ini sedang menghegemoni peradaban di muka bumi. Dampak yang ketara dirasakan umat Islam sekarang ini ialah mereka menjadi bingung akibat adanya dikotomi ilmu pengetahuan, seperti ilmu pengatahuan harus bersifat wahyu- rasional/empiris, subjektif-objektif, ilaahiyyah-insaniyyah, lahir-batin, dunia-akhirat, atau sains-agama.
Contoh bila kita kristisi saja mengenai konsep ilmu pengetahuan rasional semisal harus bersifat objektif, maka, ini tidak dapat digunakan untuk kalangan Muslim kepada para sahabat Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam, jika umat Islam dulu mengambil suatu ilmu atau sumber berita yang shahih dar Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat maka tidak bisa dikatakan suatu ilmu/khobar, karena para Sahabat radhiyallahu ‘anhu itu sangat dekat bahkan rela mati demi Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam sehingga para sahabat itu tidak objektif, ada unsur kedekatan yang menyebabkan para Sahabat radhiyallahu ‘anhu bersifat subjektif. Sekarang ini kan banyak seperti itu, apabila kita belajar semisal filsafat, sosiologi, antropologi, kita harus lepaskan unsur subjektivitas kita sebagai seorang muslim, kita buang terlebih dahulu ideologi-ideologi kita sehingga kita bersifat netral baru kita akan objektif menerima suatu ilmu.
Padahal sebelumnya umat Islam tidak mengenal istilah dualisme ilmu pengetahuan semacam itu, hal ini terbukti dengan kehadiran para ulama dahulu sekaligus menjadi ilmuwan, semisal Al-Kindi merupakan seorang filsuf sekaligus agamawan. Ibn Sina, selain ahli dalam bidang kedokteran filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizmi adalah ulama yang ahli matematika. Ibnu Risyd, seorang faqih yang mampu menghasilkan karya magnum opus-nya Bidayatu Al-Mujtahid, yang mampu mengsinergikan filsafat dan ilmu fiqh. Ibnu Khaldun dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern dalam magnum opus-nya Al-Mukaddimah, yang sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik dari kalangan muslim maupun para orientalisme. (M. Sa’ad)
Dan Imam Al-Ghazali walaupun dikenal populer dengan kehidupan dan ajaran sufistiknya namun dalam perjalanan keilmuannya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti, ilmu fiqh, kalam, falsafah, hingga tasawuf. Berkat satu-kesatuan ilmu pengetahuan yang umat Islam miliki telah melahirkan banyak ulama-ulama sekaligus ilmuwan hebat di berbagai bidang dan pengetahuan, dan pengetahuan tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dan integral sehingga menjadi manusia yang jami’ universal bukan dikotomis, dualis, atau parsial.
Konsep ilmu pengetahuan yang parsial menjadi problematis di kalangan pendidikan khususnya umat Islam saat ini, yang padahal ilmu pengetahuanlah yang akan senantiasa kompatibel dengan pendidikan, tidak mungkin ada pendidikan tanpa ilmu pengetahuan. Di sisi lain pendidikan merupakan bidang yang paling strategis untuk menghasilkan manusia-manusia yang utuh sebagaimana tujuan pendidikan yang telah banyak dirumuskan. Namun dalam praktik nya saat ini, mayoritas aktualisasi pendidikan cenderung menerapkan sistem pendidikan yang parsial-dikotomis cenderung membagi ilmu pengetahuan, sehingga merubah orientasi belajar para siswa semata-mata untuk meraih nilai tinggi dan ahli dalam suatu bidang dengan harapan agar mudah menghadapi kehidupan di masa yang akan datang dan mengesampingkan aspek mengenal Tuhan dengan demikian maka sepanjang hayatnya senantiasa meluangkan waktunya untuk terus belajar.
Ada pencerahan yang dipaparkan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ulummuddin tentang pembagian ilmu pengatahuan sebagai asas pegangan untuk pendidikan khususnya di kalangan umat Islam, klasifikasi ilmu dalam pemikiran Imam Al-Ghazali berbeda dengan dikotomi ilmu ala Eropa sebab ia hanyalah pembagian hierarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat kebenarannya, di mana yang pertama merupakan azas atau rujukan yang kedua.
Ilmu secara umum menurut imam Al-Ghazali bisa dilihat pada skema berikut:
Menurut Imam Al-Ghazali Ilmu Muamalah adalah ilmu yang daripadanya dituntut mengetahui serta mengamalkannya. Ilmu Muamalah terbagi kepada ilmu lahir yakni ilmu mengenai amalan anggota badan dan ilmu batin yakni ilmu mengenai amalan-amalan hati. Ilmu yang berjalan atas anggota-anggota badan menjadi adat dan ibadah. Sedangkan bagian batin yang berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi menjadi tercela dan terpuji. Dengan kata lain ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah.
Ilmu muamalah terdiri dari ilmu fardhlu ‘ain dan ilmu fardhlu kifayah. Ilmu fardhlu ‘ain sendiri hanya membahas ilmu syariah. Sedangkan ilmu fardhlu kifayah memiliki 4 klasifikasi yaitu: ilmu syari’yah, ilmu ghoyru syari’yah. Ilmu ghoyru syaii’yah terbagi menjadi mahmudah, madzmumahdan ilmu mubah. Ilmu madzmumah dan ilmu mubah tidak masuk dalam tidak masuk dalam pembahasan dalam fardhlu kifayah.
Ilmu fardhu kifayah ghoyru syari’yah ialah ilmu yang bukan syari’yah namun sangat dibutuhkan terkait dengan kemaslahatan dunia. Dalam hal ini imam al-Ghazali memberikan contoh: Kedokteran(Al-Thib), Matematika (Hisab), ilmu teknik (shana’at), pertanian (al-falah), pelayaran (al-Hiyakah), politik (al-Siyasah), bekam (al-Hijamah) dan menjahit (al-Khiyath).
Al-Ghazali beralasan bahwa ilmu kedokteran penting bagi kemaslahatan masyarakat sebab ilmu kedokteran dibutuhkan dalam kesehatan.Begitu pula ilmu matematika sangat dibutukan dalam kehidupan sehari-hari semisal dalam muamalah perdagangan, pembagian waris, washiat dal lain-lainnya.Ilmu-ilmu di atas menurut al-Ghazali apabila tidak ada satu dari kelompok suatu mayarakat yang mempelajari, maka semua masyarakat yang ada mendapatkan dosa. Al-Ghazali mencontohkan apabila satu kelompok masyarakat tidak ada yang mempelajari ilmu bekam, maka banyak orang yang terkena penyakit, hal ini yang kemudian akan mempercepat kerusakan.
Para ulama’ dalam memposisikan ilmu fardhlu ‘ain sesuai dengan bidangnyamasing-masing. Misal: para mutakallimun berasumsi bahwa ilmu kalam (ilmu tauhid) adalah ilmu fardhlu ‘ain sebab, bagi mereka dengan ilmu kalam seseorang dapat menemukan mengetahui ketauhidan Dzat dan sifat Allah. Sementara itu para Fuqaha’ bahwa ilmu fiqh adalah ilmu fardhlu ‘ain sebab dengan fiqh seseorang dapat beribadah dan mengetahui perkara halal dan haram serta mengetahui perkara yang haram dan yang halal dalam bermuamalah.
Sedang ilmu fardhlu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhlu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab kefardhluan untuk menuntutnya.
Yang pada akhirnya penulis sangat berharap melalui uraian sederhana ini sebagai refleksi dan sebagai bagian yang terlibat langsung di dunia pendidikan ingin nantinya menghasilkan out put peserta didik yang berorientasi terhadap ilmu agama sehingga siap terjun mensyiarkan agama Allah di masyarakat ia pun mampu menguasai ilmu-ilmu rasional yang bisa membanggakan kehidupannya di dunia. Dengan kata lain kita ingin menjadikan seorang pelajar seorang ulama di samping itu pun ia adalah dokter yang pandai, kita ingin memiliki seorang ulama di samping itu pun ia ahli dalam ilmu astronomi, dan yang semisalnya.